Keep dreaming high!
"Usia 30 ingin selesai doktor (pakai
beasiswa) dan bisa selesai hafalan 30 juz. Lalu menjadi dosen tetap di
perguruan tinggi sambil mengajar Tahfidz Qur'an... Aktif dalam kegiatan
sosial kemanusiaan.. Mempunyai rumah yang nyaman dan bisa mendirikan
bisnis dengan rekayasa sosial yang bermanfaat untuk umat... Mohon
bantuan untuk didoakan ya..."
Pada 5 September 2015 dengan memberanikan diri, saya update status untaian doa seperti di atas melalui facebook account saya.
Bukan karena riya.. bukan.. bukan itu..
Lagi pula itu jika melihat judulnya, saya belum melakukan itu semua..
Itu hanyalah sekelumit cita saya yang ingin sekali saya gapai...
Satu kalimat di akhir pun sebetulnya itu yang menjadi alasan saya melakukan update status itu..
Benar.. saya ingin didoakan oleh saudara-saudara seiman saya agar turut mengaminkan apa yang menjadi doa saya.. Hanya itu!!
Sementara masalah apa yang menjadi cita saya, semoga ALLAH SWT membimbing saya agar menempatkan "harapan akan kerifhoan-Nya" sebagai arah tujuan.. Aamiin ya mujibassailim...
Lalu, apa itu riya?
Riya berasal dari kata ru’yah (penglihatan) sebagaimana sum’ah
berasal dari kata sam’u (pendengaran) dari sekedar makna bahasa ini bisa
difahami bahwa riya adalah ingin diperhatikan atau dilihat orang lain.
Dan para ulama mendefiniskan riya adalah menginginkan kedudukan dan
posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada
mereka.
Dari definisi tersebut jelas bahwa dasar perbuatan riya’ adalah untuk
mencari keredhoan, penghargaan, pujian, kedukan atau posisi di hati
manusia semata dalam suatu amal kebaikan atau ibadah yang dilakukannya.
Sering keberadaan riya ini luput dari pengamatan dan perasaan
seseorang dikarenakan begitu halusnya sehingga ada yang mengibaratkan
bahwa ia lebih halus daripada seekor semut hitam diatas batu hitam di
tengah malam yang gelap gulita. Padahal keberadaan riya dalam suatu amal
amatlah berbahaya dikarenakan ia dapat menghapuskan pahala dari amal
tersebut.
Karena itu, ia disebut juga dengan syirik yang tersembunyi,
sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al
Khudriy berkata,”Rasulullah saw pernah menemui kami dan kami sedang
berbincang tentang al masih dajjal. Maka beliau saw bersabda,”Maukah
kalian aku beritahu tentang apa yang aku takutkan terhadap kalian
daripada al masih dajjal?’ kami menjawab,’Tentu wahai Rasiulullah.’
Beliau saw berkata,’Syrik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan
sholat kemudian membaguskan sholatnya tatkala dilihat oleh orang lain,”
(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ
Artinya : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya,”
(QS. Al ma’un : 4 – 6)
Al Qurthubi mengatakan bahwa makna dari “orang-orang yang berbuat
riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada
manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat
dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa
sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia
seorang yang (melakukan) sholat. Hakekat riya’adalah menginginkan apa
yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya
adalah menginginkan kedudukan di hati manusia. (al jami’ Li Ahkamil
Qur’an juz XX hal 439)
Dari Abu Hurairoh bahwa telah berkata seorang penduduk Syam yang
bernama Natil kepadanya,”Wahai Syeikh ceritakan kepada kami suatu hadits
yang engkau dengar dari Rasulullah saw.’ Abu Hurairoh
menjawab,’Baiklah. Aku telah mendengar Rasulullah saw
bersabda,’Sesungguhnya orang yang pertama kali didatangkan pada hari
kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid dan dia diberitahukan
berbagai kenikmatannya sehingga ia pun mengetahuinya. Kemudian orang itu
ditanya,’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’ Orang itu
menjawab,’Aku telah berperang dijalan-Mu sehingga aku mati syahid.’
Dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong, sesungguhnya engkau berperang
agar engkau dikatakan seorang pemberani dan (gelar) itu pun sudah engkau
dapatkan.’
Kemudian Allah memerintahkan agar wajah orang itu diseret dan
dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi seorang pembaca Al
Qur’an dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun
mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’
Orang itu menjawab,’Aku telah mempelajari ilmu dan mengajarinya dan aku
membaca Al Qur’an karena Engkau.’
Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau
mempelajari ilmu agar engkau dikatakan seorang yang alim dan engkau
membaca Al Qur’an agar engkau dikatakan seorang pembaca Al Qur’an dan
engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian Allah memrintahkan agar
wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi
seorang yang Allah berikan kepadanya kelapangan (harta) dan dia
menginfakkan seluruh hartanya itu dan dia diberitahukan berbagai
kenikmatan maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang
engkau lakukan di dunia?’
Orang itu menjawab,’Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau
sukai untuk berinfak didalamnya kecuali aku telah menginfakkan
didalamnya karena Engkau.’ Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong
sesungguhnya engkau melakukan hal itu agar engkau disebut sebagai
seorang dermawan dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian
orang itu diperintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke
neraka.” (HR. Muslim)
Riya ini bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau
sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam Ghozali mengatakan bahwa
apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah
muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang
lain maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan
tersebut telah selesai dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah
selesai dan tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi
setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk
memperlihatkannya atau membicarakannya.
Namun, apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan
dan memperlihatkannya, maka hal ini ‘berbahaya’ (Ihya Ulumudin juz III
hal 324)
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ itu muncul sebelum
selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan
ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal itu tidaklah
berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya sebagai
faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar
kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan
pahala.
Adapun apabila riya menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang
memulai sholatnya dengan tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai
sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali
perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia
memulainya lagi. (A Mukhtashar Minhajil Qishidin hal 209)
Sungguh suatu karunia yang besar ketika Allah memberikan kemudahan
kepada anda untuk senantiasa melakukan sholat berjama’ah di musholla di
saat orang-orang tengah asyik dengan tidurnya. Namun demikian anda perlu
berhati-hati karena pada kondisi-kondisi seperti inilah terkadang setan
mudah menghembuskan bisikan-bisikannya agar anda berbuat riya’.
Sebelum menceritakan apa-apa yang telah anda lakukan didalam da’wah
kepada orang lain maka hendaklah anda mampu meraba kekuatan diri anda.
Apabila hati anda tetap bersih, melihat semua manusia adalah kecil
dimata anda, memandang sama segala pujian dan kecaman orang terhadap
anda dan anda hanya berharap dengan menceritakan hal itu kelak orang
lain akan mengikutinya atau akan mencintai kebaikan yang ada didalamnya
maka hal ini dibolehkan bahkan dianjurkan selama jiwa anda bersih dari
berbagai penyakitnya karena menjadikan orang mencintai kebaikan adalah
suatu kebaikan.
Seperti yang diceritakan dari Utsman bin ‘Affan bahwa dia
mengatakan,”Aku tidak pernah menyanyi, tidak berangan-angan dan tidak
juga menyentuh kemaluanku dengan tangan kananku sejak aku membaiat
Rasulullah saw.”
Atau seperti yang dikatakan Abu Bakar bin Abbas kepada
putranya,”Wasapadalah engkau dari maksiat kepada Allah swt didalam
ruangan ini. Sesungguhnya aku telah mengkhatamkan Al Qur’an di ruangan
ini sebanyak 12.000 kali.”
Akan tetapi apabila anda melihat bahwa diri anda lemah, tidak tahan
dengan pujian orang lain, mudah muncul penyakit hati atau akan
memunculkan riya didalamnya apabila menceritakan aktivitas da’wah anda
itu maka lebih baik anda menahan diri dari menceritakannya meskipun anda
menginginkan agar orang lain mengikutinya atau menyukai kebaikan yang
ada didalamnya.
Dan kalaupun anda ingin agar orang lain bisa mengikutinya dan
mencintai kebaikan yang ada didalamnya dengan cara menceritakannya maka
ceritakanlah aktivitas tersebut kepada mereka tanpa menisbahkannya
kepada diri anda demi menghindari adanya riya’ didalamnya.
Adapun beberapa kiat untuk menghilangkan penyakit riya’, menurut Imam Ghozali adalah:
- Menghilangkan sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan terhadap pujian orang lain, menghindari pahitnya ejekan dan anusias dengan apa-apa yang ada pada manusia, sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Abu Musa berkata,”Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan mengatakan,’Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang dengan gagah berani, orang yang berperang karena fantisme dan orang yang berperang karena riya’ maka mana yang termasuk dijalan Allah? Maka beliau saw bersabda,’Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah maka dia lah yang berada dijalan Allah.” (HR. Bukhori)
- Membiasakan diri untuk menyembunyikan berbagai ibadah yang dilakukannya hingga hatinya merasa nyaman dengan pengamatan Allah swt terhadap berbagai ibadahnya itu.
- Berusaha juga untuk melawan berbagai bisikan setan untuk berbuat riya pada saat mengerjakan suatu ibadah.
Wallahu A’lam
-Ustadz Sigit Pranowo Lc-
Sumber tulisan tentang riya: klik di sini
No comments:
Post a Comment